Prasasti Anjukladang berangka tahun 859 Saka atau 937 Masehi. Sayang
sekali bahwa prasasti ini belum terbaca seluruhnya karena disebabkan
tulisan-tulisan yang terpahat mengalami keausan, terutama pada bagian
atas prasasti. Namun dari beberapa tulisan yang tidak mengalami aus
dapat kiranya didapatkan keterangan sebagai berikut:
Raja Pu Sindok telah memerintahkan agar tanah sawah kakatikan (?) di
Anjukladang dijadikan sima dan dipersembahkan kepada bathara di sang
hyang prasada kabhaktyan di Sri Jayamerta, dharma dari Samgat
Anjukladang.
Menurut J.G. de Casparis, penduduk Desa Anjukladang mendapat anugerah
raja dikarenakan telah berjasa membantu pasukan raja di bawah pimpinan
Pu Sindok untuk menghalau serangan tentara Malayu (Sumatera) ke Mataram
Kuna yang pada saat itu telah bergerak sampai dekat Nganjuk. Atas
jasanya yang besar, maka Pu Sindok kemudian diangkat menjadi raja.
Selain itu, prasasti ini juga berisi tentang adanya sebuah bangunan
suci. Dalam makalahnya yang berjudul “Some Notes on Transfer of Capitals
in Ancient Sri Lanka and Southeast Asia”, de Casparis mengatakan bahwa
dalam prasasti itu juga disebutkan bahwa Raja Pu Sindok mendirikan tugu
kemenangan (jayastambha) setelah berhasil menahan serangan raja Malayu,
dan pada tahun 937 M, jayastambha tersebut digantikan oleh sebuah candi.
Kemungkinan besar bangunan suci yang disebutkan dalam prasasti ini
adalah bangunan Candi Lor yang terbuat dari bata yang terletak di Desa
Candirejo, Kecamatan Loceret, di dekat Berbek, Kabupaten Nganjuk, Jawa
Timur.
Kutipan isi prasasti Anjukladang yang menyebutkan hal itu: A. 14 –
15: … parnnaha nikanaŋ lmah uŋwana saŋ hyaŋ prasada atêhêra
jaya[sta]mbha wiwit matêwêkniraŋlahakan satru[nira] [haj]ja[n] ri
[ma]layu (= di tempat ini [yang telah terpilih] agar menjadi tempat
didirikannya bangunan suci, sebagai pengganti tugu kemenangan, [di
sanalah] pertamakali menandai saat ia [raja] mengalahkan musuhnya raja
dari Malayu).
Prasasti ini sekarang menjadi koleksi Museum Nasional di Jakarta dengan Nomor Inventaris D.59. ***